HARIANKAMI.com --
Kebijakan penjatuhan hukuman perkara narkotika di lingkungan MA baik penjatuhan hukuman mati bagi pengedar dan penjatuhan hukuman penjara bagi penyalah guna untuk dikonsumsi, tidak berdasarkan aturan konvensi internasional yang disepakati oleh negara.
Padahal, kesepakatan yang dilakukan oleh negara tersebut mengikat pemegang kekuasaan negara di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dengan kesepakatan tersebut, kemudian pemerintah (eksekutif) atas persetujuan DPR (legislatif) kemudian meratifikasi konvensi menjadi UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya sebagai aturan dasar atau sumber hukum dalam membuat UU narkotika.
Dimana bentuk hukuman bagi pengedar dengan pemberatan berupa hukuman badan atau pengekangan kebebasan sedangkan hukuman bagi penyalah guna narkotika berupa hukuman alternatif yaitu hukuman menjalani rehabilitasi.
Yudikatif Tidak Menyepakati Kesepakatan
Hakim selaku pelaksana kekuasaan yudikatif dalam mengadili perkara narkotika terikat dengan kesepakatan yang dilakukan negara dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika, baik penyalah guna maupun pengedar narkotika.
Praktik penjatuhan hukuman bagi pengedar dengan pemberatan dengan hukuman mati dan praktik penjatuhan hukuman bagi penyalah guna narkotika dengan hukuman penjara menunjukan ketidak sepakatan yudikatif terhadap apa yang telah disepakati oleh negara.
Negara dirugikan akibat penjatuhan hukuman mati bagi pengedar karena tidak efektif bila dieksekusi terjadi drama yang mengakibatkan keretakan hubungan diplomatik, tidak dieksekusi negara ini dilabeli oleh masarakat “tidak ada kepastiaan hukum”. Padahal hakim diberi kewenangan untuk menggali sumber hukum narkotika agar keputusannya efektif, mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Negara juga dirugikan akibat penjatuhan hukuman penjara bagi penyalah guna karena tidak efektif bila dihukum penjara justru penyalah guna mengulangi perbuatannya selama dan sesudah menjalani hukuman karena penyalah guna kehilangan hak untuk sembuh melalui keputusan hakim
Padahal hakim diberi kewajiban (pasal 127/2) dan kewenangan (pasal 103) oleh UU narkotika untuk menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d) melalui penjatuhan hukuman agar sembuh dan pulih untuk mencegah agar tidak mengulangi perbuatannya.
Kejahatan Bersarat
Kejahatan narkotika adalah kejahatan bersarat karena narkotika sendiri adalah obat yang digunakan untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuaan dan tehnologi kepemilikan.
Kepemilikan dan penguasaan narkotika harus memenuhi persaratan tertentu agar dikatagorikan sah dan tidak melawan hukum.
Kepemilikan dan penguasaan narkotika secara tidak sah dan melawan melawan hukum, dilarang secara secara pidana tetapi penjatuhan hukumannya keluar dari hukuman pidana diatur secara khusus berdasarkan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang merubahnya sebagai aturan dasar yang mengikat bagi proses pembuatan, pelaksanaan dan pengadilan narkotika.
Sehingga kejahatan penyalahgunaan dan kejahatan peredaran di indonesia masuk dalam yuridiksi hukum pidana, diancam dan dituntut diproses secara pidana tetapi bentuk hukuman bagi pengedar dan bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika dikecualikan dari hukuman pidana yang berlaku secara umum.
Kenapa Hukumannya Dikecualikan dari Hukuman Pidana?
Karena kejahatan perdagangan obat bentuk hukumannya diatur secara khusus, diluar KUHP bahwa hukuman bagi kejahatan kepemilikan narkotika baik produsen, pengedar ataupun bandar narkotika adalah hukuman badan/ hukuman lain berupa kehilangan kebebasan/ hukuman lain diluar hukuman mati.
Khusus kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi, hukumannya berupa hukuman pengganti pidana/ hukuman tambahan dari hukuman pidana bahwa penyalah guna “wajib menjalani tindakan perawatan, pendidikan, rehabilitasi, after-care dan reintegrasi sosial”
Kalau Begitu Penyalah guna untuk Dikonsumsi Enggak Bisa Dihukum Penjara?
Ya, tidak bisa. Penyalah guna hukumannya diganti menjadi menjalani rehabilitasi, mengganti hukuman pidana menjadi hukuman rehabilitasi itu kewajiban hakim, kecuali kalau penyalah guna tersebut terbukti juga sebagai pengedar atau menjadi anggota sindikat narkotika.