Jika terdakwa tergolong pecandu, maka berdasarkan pasal 103 hakim wajib memutus dan memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.
Jika terdakwa tergolong korban penyalahgunaan narkotika maka hakim wajib menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.
Karena secara empiris hakim menggunakaan KUHAP dan pasal 10 KUHP dalam menjatuhkan hukuman penjara terhadap perkara narkotika.
Yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, akibatnya masalah over kapasitas tak terkedalikan, meskipun pemerintah cq kemenkumham telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi over kapasitas.
Menurut catatan saya, selama model penegak hukum tidak berubah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi terdakwa narkotika.
Yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri maka over kapasitas dan bencana lainnya tidak akan dapat dikendalikan.
Sebagai gambaran, pada tahun 2021, berdasarkan data dari ditjend Lapas per tanggal 09 september 2021.
Data menunjukan jumlah tahanan di Indonesia berjumlah 266.663 orang, dengan kapasitas seharusnya berjumlah 132.107.
Nah, ini artinya terjadi over kapasitas sebanyak134.556 orang atau sekitar 101 %
Setahun kemudian, data ditjend Lapas per tanggal 13 september 2022 jumlah narapidana di Indonesia berdasarkan penjelasan Heni Yuwono Direktur Pelayanan Pengelolaan Basan dan Baran ditjend Lapas berjumlah 275.167 orang.
Sedangkan kapasitas lapas 132.107 akhirnya ada over kapasitas 108 % (kompas.com, 21 sep 2022).
Apakah benar over kapasitas akibat hakim salah menerapkan bentuk hukuman ?
Yes, secara empiris demikian (lihat data Direktorat Putusan Mahkamah Agung) dalam data tersebut perkara narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, hakim menjatuhkan hukuman penjara.
Padahal secara yuridis hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi kewenangan (pasal 103), kewajiban (127/2) hakim dan tujuan penegakan hukum (pasal 4d).
Hakim dalam menjatuhkan hukuman penjara menggunakan dasar pasal 10 KUHP, padahal pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, hakim diberi kewenangan.
Wajib dapat memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitas jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.