Hariankami.com -- PHUBBING: Ketika Gadget Merenggut Perhatian
Di era yang semakin terkait dengan teknologi, sebuah istilah baru telah lahir dan bergema di berbagai belahan dunia.
Kata itu adalah "phubbing."
Namun, jangan merasa terlalu akrab dengan kata ini, karena meskipun terdengar sepele, dampaknya bisa jauh lebih dalam daripada sekadar potongan huruf yang tersusun.
Perhatikanlah: dalam ruang-ruang rapat resmi, di institusi-institusi negara mulai dari DPR RI hingga MPR, DPD, hingga lembaga eksekutif seperti Kantor Presiden, Kementerian, dan bahkan kantor-kantor pemerintah daerah, diberlakukan larangan tegas terhadap phubbing.
Entah Anda menyadarinya atau tidak, hal ini adalah cerminan dari kualitas seorang pejabat. Terlalu sering gadget menutupi perhatian mereka, menghambat interaksi, dan mendistorsi konsentrasi.

Pelarangan phubbing ini seolah menjadi sebuah kampanye, suara keras yang menentang perilaku anti sosial.
Stop phubbing ketika kita saling berhadapan atau tengah terlibat dalam pertemuan. Jangan biarkan perangkat elektronik kita merampas kehangatan interaksi.
Istilah ini mungkin terdengar baru, namun sejatinya telah menjadi fenomena umum dalam kehidupan kita.
Enam tahun yang lalu, di suatu bulan Mei tahun 2012, para cendekiawan bahasa, sosiolog, dan budayawan merapatkan barisan di Universitas Sidney.
Dari pertemuan itu, lahir satu kata yang meretas aturan tata bahasa Inggris, kata itu adalah phubbing.
Ia adalah tindakan di mana seseorang terlena dengan gawai di tangannya, hingga orang-orang di sekelilingnya menjadi tak lagi bernilai.